Oleh: Gunawan
Sahrul, foto pertama dari kiri (baju hijau hitam). |
Orangnya tak banyak
bicara. Hanya inti-intinya saja, kalau pun berbicara. Tidak basa-basi.
Disiplin, tidak pernah aku melihatnya malas untuk berangkat ke kampus apalagi
sampai absen. Memang tak sama tempat kuliahku dengan beliau. Namun, aku tahu
persis kesehariannya, sebab satu kamar kos denganku. Ya, itulah memang beliau
yang sesungguhnya. Sahrul, namanya. Sosok yang kalem. Kakak sekaligus guru
bagiku.
Walau tak banyak
bicara, namun di situlah letak kehebatan dan keistimewaan beliau. Pernah suatu
waktu, aku dan beberapa teman satu kontrakan “diceramahi” olehnya, lantaran
karena ada suatu hal yang beliau lihat terhadap apa yang kami lakukan yang
tidak baik, menurutnya. Tak satu pun dari kami yang berani berkutip, apalagi
“membantah.” Diam-diam, namun sangat dahsyat kala berbicara.
Beliau tak suka bila
ada orang yang hanya jagonya berucap, namun tak pernah direalisasikan apa yang
menjadi ucapannya. Itulah barangkali, mengapa beliau tidak banyak berbicara.
Aku suka sekali dengan karakternya yang seperti itu.
Memang, dahulu ketika
masih sekolah dasar, aku dengan beliau sering beradu mulut. Ya, namanya masih
kecil dan anak-anak. Pasti ada saja yang dipersoalkan. Dan, saking nakal dan
bandelnya diriku, pernah aku berantam dengan beliau sampai membuatnya menangis.
Padahal, beliau lebih tua dariku. Orangtua kami pun (ayah) langsung
menghukumku, akibat kejadian itu. Namun, aku tak pernah kapok.
Seiring berjalannya
waktu, beranjak dewasa, kami pun bisa akur. Puncaknya, ketika berada jauh dari
kampung halaman. Apalagi saat itu, hanya beliau seorang dari anggota keluarga
yang selalu dan bisa memahamiku.
Mengenai semangat
menimba ilmu dan perkuliahan, tanpa berlebihan aku ingin katakan, beliaulah
guru sejatiku. Salah satu alasannya adalah oleh karena kedisiplinannya yang
begitu tinggi. Padahal, jarak dari kontrakan dengan tempat kuliah tidak begitu
dekat. Kurang lebih dua belas kilometer. Hanya bermodalkan angkot (pete-pete, istilahnya di Makassar)
beliau berangkat ke kampus, tak pernah beliau merasa bosan apalagi mengeluh.
Beliau sangat menikmati itu.
Pagi-pagi, beliau sudah
beres dan siap-siap untuk berangkat ke kampus. Pulangnya, kadang sore, kadang
juga malam hari. Bahkan, makan pun beliau sering lupa, saking semangatnya
mencari butiran-butiran mutiara ilmu.
Semangat inilah yang
membuatku selalu termovitasi untuk belajar dan terus menimba ilmu. Spiritnyalah
yang mengajarkanku agar tak pernah menyerah dan terus meraih setiap apa yang
kuimpikan.
Satu juga kebiasaan
beliau yang kukagumi. Beliau tak suka memerintah, namun lebih kepada memberi
contoh. Sehingga, aku khususnya, ikut juga bekerja atau melakukan sesuatu
seperti apa yang beliau kerjakan atau lakukan (dalam hal positif).
Terima kasih, karena
telah mengajarkanku banyak hal. Terima kasih, karena tak pernah bosan
membimbing dan mendidikku, walau aku sering bandel dan keras kepala. Terima
kasih, karena telah bersedia menjadi kakak, orangtua, sekaligus guru bagi
pribadi yang penuh dengan dosa ini. Sekali lagi, terima kasih dan terima kasih.
Semoga amal baiknya selama ini mendapatkan balasan yang setimpal dari-Nya.
Maafkan aku bila selama
ini telah membuatmu kadang menangis karena melihat kelakuan adikmu ini yang
tidak baik dan susah diatur. Tetaplah berbuat atau menebar kebaikan dan menjadi
inspirasi untuk siapa pun.
Wallahu a’lam.
Share This :
comment 0 comments
more_vert