Oleh: Gunawan
Ada satu nasihat dari
orangtuaku, yang masih kuingat hingga kini. Bahwa, bila berada di tanah
perantauan, maka yang menjadi orangtua sekaligus kakakmu di sana adalah
senior-seniormu yang terlebih dahulu menginjakkan kaki di tanah tersebut.
Jangan memandang umurnya. Mau tua, mau muda, yang penting telah terlebih dahulu
berada di tanah perantauan seperti yang dimaksud.
Nasihat itulah yang selalu
kuingat di kala studi di kota Makassar. Sesungguhnya, bukan saja orangtuaku
yang mengatakan demikian. Di kota Daeng juga, aku khususnya, mendapatkan
nasihat yang sama dari seniorku yang sudah lama dan duluan berada di tempat
tersebut. Mansyur, namanya. Beliaulah yang selalu memberikan nasihat sekaligus
memotivasiku ketika berada jauh dari keluarga dan orangtua.
Aku masih ingat, ketika
awal sampai di kota Anging Mamiri tersebut, aku langsung diajak olehnya untuk
jalan-jalan dan berkenalan dengan beberapa temannya, dan juga beberapa calon
mahasiswa baru. Tujuannya tidak lain, agar aku tidak merasakan kesedihan oleh
karena berada jauh dari orangtua, juga untuk melatih mentalku bila berhadapan
dengan para senior dan sesama angkatan. Benar demikian. Terkadang aku malu,
apalagi berada dalam satu forum dengan teman-temannya yang begitu hebat.
Padahal, aku kala itu, belum tahu apa-apa tentang dunia kampus. Namun, itulah
beliau. Selalu mengajakku untuk memperkenalkan ini dan itu. Aku tak pernah
bosan. Beliau tahu betul, bagaimana cara memperlakukan orang baru dengan
lingkungan baru.
Di saat mengikuti tes
masuk perguruan tinggi, aku diantar olehnya seorang diri. Jarak dari kos ke
tempat tes kurang lebih tiga kilometer. Kami berjalan kaki. Setelah tiba di
lokasi tes, tanpa kutahu, beliau meninggalkanku seorang diri. Akhirnya, usai
tes, aku pun pulang sendirian. Aku kebingungan waktu itu. Sebab, aku belum
terlalu hafal jalan pulangnya, juga pertama kalinya lewat jalan itu. Apalagi di
daerah perkotaan yang jalannya bercabang-cabang dan banyak sekali. Maklumlah,
anak desa. Hehehe.
Awalnya, ketika
berangkat, aku memang ingat jalannya harus ke sini dan ke situ. Bahkan, banyak
belokan pun sudah kuhitung. Namun, karena pertama kalinya lewat jalan yang
dimaksud, jadi ingatanku seolah lupa seketika. Hanya beberapa yang kuingat.
Yang membuat aku benar-benar bingung adalah ketika tiba di per-tiga-an. Dalam
hatiku bertanya, apakah benar ini jalan yang dilewati tadi? Lama aku berdiam
dan berhenti sekaligus istirahat di per-tiga-an tersebut. Untung aku ingat
warna cat salah satu gedung di sekitar belokan tersebut. Akhirnya, aku
memutuskan untuk jalan lagi dan mengikuti kata hatiku. Hingga akhirnya, tiba
juga di kontrakan.
Sampai sekarang aku
tidak tahu, apakah beliau (kanda Mansyur) sengaja meninggalkanku kala itu atau
tidak. Namun, yang pasti itu adalah bagian dari pelajaran hidupku. Mungkin saja
beliau sengaja melakukannya dan membiarkanku untuk pulang sendirian, agar aku
bisa mandiri tanpa harus didampingi lagi. Dan, aku mengambil pelajaran dari kejadian
itu, bahwa aku harus mulai bisa mandiri dan berani membuat keputusan serta
menerima setiap konsekuensinya.
Beliau merupakan orang
pertama yang memperkenalkanku dengan buku-buku, hingga mengunjungi toko buku.
Aku pun mulai tertarik untuk membaca dan mengoleksi berbagai jenis buku, salah
satunya karena beliau. Beliau benar-benar sang guru bagiku ketika berada di
tanah perantauan.
Beliau begitu sabar
membimbingku, tanpa ada rasa bosan. Padahal, beliau tahu kalau aku sangat keras
kepala. Barangkali, tanpa bimbingan dan didikan dari beliau yang begitu “pahit
dan keras” kala itu, aku tidak akan bisa seperti sekarang ini.
Pertama kalinya aku
mengenal dunia organisasi baik eksternal maupun internal kampus, juga berkat
beliau. Salah satu organisasi yang beliau perkenalkan padaku kala itu adalah study club bahasa Inggris, namanya New
Generation Club (NGC). Pokoknya, banyak sekali jasa beliau padaku, juga
pengalaman hidup yang kudapatkan.
Wallahu a’lam.
Share This :
comment 0 comments
more_vert