Oleh: Gunawan
Sabtu, 7 Oktober 2017,
tepatnya pukul 13.38 WIB, saya mengunggah beberapa foto buku (sampul) hasil
karya saya di Facebook, baik berupa buku solo, antologi, maupun buku yang
disunting. Dan, di atas unggahan foto tersebut, saya menuliskan beberapa kalimat
sederhana. Bunyinya seperti ini, “Penulis itu penuh semangat. Jangankan sedang
jatuh cinta, dikhianati dan patah hati pun tetap bisa melahirkan tulisan demi
tulisan. Bahkan, buku demi buku. Wkwkwk.”
Postingan atau unggahan
saya tersebut, tiba-tiba langsung mendapatkan komentar positif dari dua orang.
Tentunya, saya sangat senang dan bahagia. Apalagi salah satu di antaranya
adalah dosen saya ketika menimba ilmu di Kota Makassar dulu.
Beliau memberikan
apresiasi kepada saya, sekaligus memotivasi agar saya terus berkarya dan
berbagi lewat tulisan. Beliau juga meminta saya agar menularkan virus menulis
tersebut di almamater saya yaitu UIN Alauddin Makassar, lebih khusus lagi pada
adik-adik di Jurusan Pendidikan Matematika. Saya pun mengiyakan permohonan
beliau tersebut, asalkan ada yang memfasilitasi agar kegiatan ini bisa
terselenggara. Dan, pastinya saya sangat senang bila bisa berbagi pengalaman
menulis, terlebih di kampus kebanggaan saya tersebut. Semoga bisa terlaksana.
Komentar kedua adalah
datang dari salah seorang teman Facebook, sehari setelah saya mengunggah foto
tersebut. Beliau menanyakan tips-tips
bagaimana agar bisa menjadi penulis yang bisa melahirkan tulisan demi tulisan.
Sesungguhnya, jawaban saya sederhana saja. Saya memberikan jawaban sesuai
dengan pengalaman pribadi saya.
Saya katakan, “silakan
ambil pulpen dan buku, kemudian langsung mulai menulis. Jika punya laptop, bisa
langsung dinyalakan, terus perintahkan jari-jemarinya untuk menari-nari di atas
keyboard. Sementara, ide untuk
ditulis tak mesti dari membaca buku. Ada miliaran bahkan tak terhingga materi
dan ide yang bisa dijadikan bahan tulisan di alam sekitar. Tinggal kita mau
menyantapnya atau tidak.”
Lebih lanjut saya
katakan, “insyaallah, terus saja menggerakkan jari-jemarinya. Lama-lama pasti
akan bisa. Percayalah. Menulis saja dulu apa adanya sebagai latihan. Kalau
sudah terbiasa akan ketagihan kok. Perlu dicatat juga, prosesnya untuk bisa dan
mampu menulis itu memerlukan waktu yang tak sedikit. Berbulan-bulan,
bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun. Jadi, mulailah menulis dari
sekarang juga, apa pun itu, asalkan sesuatu yang positif. Juga, tak perlu ragu
untuk mempostingnya di dinding Facebook, misalnya. Tak usah takut dkritik,
dicemooh dan/atau lainnya. Di sinilah kita bisa belajar, dan terus belajar
menulis.”
Di luar dugaan saya,
Senin, 9 Oktober 2017, pukul 21.19 WIB, beliau langsung memposting tulisan
perdananya. Judul tulisan beliau tersebut adalah “BLOKIR JALAN (dalam Perspektif Sosial Berdemokrasi).” Beliau
mencoba menyorot beberapa aksi demonstrasi di Kabupaten Bima, yang
ujung-ujungnya selalu memblokade atau memblokir jalan, sehingga menimbulkan
kemacetan bahkan pengguna jalan tidak diizinkan untuk melintas. Di akhir
tulisan, beliau mencoba membeberkan langkah solutif agar tidak terulang kembali
kejadian serupa. Hematnya, tulisan beliau tersebut begitu bagus dan solutif,
menurut saya.
Sungguh, saya sangat
bahagia dan bersyukur sekali. Apalagi setelah saya mendengar kabar, bahwa
tulisan beliau tersebut langsung dilirik dan dimuat oleh salah satu media online setempat, pada Selasa, 10 Oktober
2017.
Hati ini begitu
bahagia. Ternyata masih banyak juga orang di luar sana yang masih mau belajar
dan mau berbagi informasi dan/atau pengetahuan lewat tulisan. Semoga mulai hari
ini dan seterusnya, terus bermunculan orang-orang yang betul-betul ingin
belajar dan berbagi lewat tulisan.
Wallahu a’lam.
Share This :
comment 0 comments
more_vert