Oleh: Gunawan
Usai pengumuman
kelulusan SMA, saya langsung bergegas mengurus dan mempersiapkan semua
keperluan untuk melanjutkan studi. Berbagai keperluan telah rampung saya urus,
tibalah waktunya untuk berpamitan dengan para keluarga besar di kampung.
Kali ini merupakan kali
ketiganya saya harus tinggal jauh dari keluarga. Saya memilih studi di Kota
Makassar. Sesampai di tanah perantauan, saya dijemput langsung oleh kakak
kandung dan kakak sepupu saya.
Oleh karena berada di
tanah rantau, maka mau tidak mau saya harus tinggal di kos-kosan. Bagi saya,
tinggal di kos-kosan itu meninggalkan banyak cerita dan pengalaman. Dan, satu
cerita yang cukup menarik adalah mengenai menu makanan. Sejak awal tiba di
Makassar sampai selesai studi, ada satu makanan atau menu (baca: sayur) yang
menjadi salah satu santapan favorit kami, yaitu “kangkung.”
Boleh dibilang,
kangkung menjadi menu utama kami dalam tiap kali makan. Bagaimana tidak, di
depan halaman kos pertama kami, ada banyak tanaman kangkung. Ya, sebagai anak
kos, daripada beli sayuran di pasar, lebih baik ambil saja yang gratis. Hehehe.
Lebih lucu lagi, tiap
usai main bola (sore hari) di area kampus UNM Makassar, saya beserta
teman-teman pasti membawa pulang kangkung dalam jumlah banyak. Kangkung
tersebut kami ambil di area kampus yang tumbuh secara liar di sekitar
rawa-rawa. Ya, itulah kehidupan kami dulu. Kangkung seolah menjadi makanan
wajib tiap hari.
Bahkan, ada satu cerita
yang cukup “menarik” juga (di kontarakan kedua). Pada libur semester genap
(kalau tidak salah), kakak kandung dan sepupu saya pulang kampung. Hanya kami
bertiga saja yang tidak pulang kampung dan tinggal bersama.
Suatu waktu, kami
kehabisan beras dan uang saku hampir sekarat. Satu-satunya cara kami untuk
menjaga agar perut tak kosong adalah mengambil kangkung sebanyak-banyak di
samping rumah pemilik kos-kosan (tentunya kami minta izin terlebih dahulu),
kemudian kami rebus. Itulah yang kami makan untuk “mengganjal” perut kami.
Kurang lebih empat hari, hanya sayur kangkung saja yang kami nikmati, tak ada
nasi, apalagi ikan. Sungguh bahagia dan bersyukurnya kami karena masih bisa
menikmati menu spesial itu. Ya, begitulah serpihan cerita saya dan teman-teman
saat berada di tanah rantau.
Wallahu a’lam.
Share This :
comment 0 comments
more_vert