Oleh: Gunawan
“Buku
Besar tentang alam ini ditulis dalam bahasa matematika.” (Galileo Galilei)
Kata “matematika” sudah
tidak asing lagi bagi kita. Kata ini sudah sangat familier sekali, sejak kita
kecil sekali pun. Apalagi di dunia pendidikan formal. Matematika merupakan
salah satu mata pelajaran yang dipelajari ketika SD sampai SMA, bahkan sampai
di perguruan tinggi. Mata pelajaran yang satu ini pula, menjadi salah satu mata
pelajaran yang diuji nasionalkan, dan juga sebagai salah satu tes masuk
perguruan tinggi bahkan tes CPNS. Tidak terkecuali juga, orang yang belum
sempat mengenyam pendidikan formal pun, saya rasa pernah mendengar kata
“matematika” bahkan seringkali ia gunakan dalam kehidupan sehari-hari, walaupun
tanpa disadari olehnya.
Pelajaran matematika,
bukan semata-mata persoalan belajar menghafal rumus-rumus, simbol-simbol,
operasi hitung, mengerjakan soal tanpa memahaminya, atau pun lainnya. Bukan
hanya ini. Sekali lagi, bukan hanya ini. Ini hanya bagian terkecil saja dari
pembelajaran matematika yang sesungguhnya. Yang sejatinya adalah justru yang
tidak tampak atau tidak terlihat oleh kita.
Okelah, bila kita
menganggap, bahwa matematika itu adalah berhubungan dengan angka-angka,
rumus-rumus, operasi hitung, atau sejenisnya, itu boleh-boleh saja. Karena
memang itu sudah menjadi bagian daripada matematika. Sebab, definisi tentang
matematika itu banyak sekali. Tergantung sudut pandang masing-masing. Sampai
sekarang pun, belum ada satu orang pun yang dapat menyimpulkan menjadi satu
definisi yang utuh dan komprehensif. Mengapa? Karena ruang atau lingkup
kajiannya sangat luas.
Selanjutnya, pernahkah
kita bertanya pada diri kita masing-masing, mengapa matematika selalu menjadi
salah satu mata pelajaran wajib di setiap jenjang pendidikan (sekolah dasar dan
sekolah menengah)? Dan mengapa pula selalu masuk menjadi salah satu mata pelajaran
yang diuji nasionalkan? Jawabannya, sederhana saja, menurut saya, karena
matematika itu sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hampir semua persoalan
dalam kehidupan sehari-hari kita berhubungan dengan matematika. Contoh sederhana,
ketika kita ingin menyetel alarm untuk mengukur kecepatan menulis kita,
misalnya berapa halaman yang bisa kita tulis selama 20 menit? Ini adalah
berhubungan dengan matematika yang sangat sederhana. Kita ingin pergi
berbelanja di pasar, tentu kita harus bisa menggunakan matematika minimal
operasi tambah, kurang, kali, bagi. Ini perlu kita kuasai, agar kita tidak
ditipu oleh penjualnya. Begitu pula dengan penjualnya, ia harus mengetahui hal
yang sederhana ini. Orang yang menjadi kuli bangunan, ia harus mengetahui
persoalan matematika. Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa banyak batu
bata, pasir, semen, kawat, dan lainnya yang dibutuhkan untuk mendirikan rumah
yang berukuran 10 x 15 meter, misalnya.
Beberapa contoh di
atas, hanya bagian kecil saja dari aplikasi penggunaan matematika dalam
kehidupan sehari-hari. Masih banyak lagi aplikasi yang lain dan juga
kontribusinya dalam membantu perkembangan ilmu-ilmu yang lain.
Terus, bagaimana dengan
nilai-nilai pendidikan karakter, apakah ada atau terdapat dalam konsep
matematika? Untuk menjawab pertanyaan ini, berikut saya akan menjelaskannya.
Dan yang saya jelaskan berikut ini merupakan bagian dari “makna tersirat” yang
terkandung dalam konsep matematika. Silakan disimak!
Pertama,
orang yang belajar matematika sebenarnya merupakan orang yang belajar untuk
melatih kesabaran. Sebab, dalam mengerjakan berbagai persoalan dalam matematika
kadang dibutuhkan proses yang panjang bahkan rumit. Proses penyelesaiannya pun
harus sedetail dan seteliti mungkin, jangan sampai ada yang keliru. Dan juga
harus sistematis (berurutan), alias tidak loncat-loncat, apalagi sampai
langsung mau mendapatkan hasil akhir tanpa melewati proses yang panjang dan
berurutan. Nah, dari sinilah kesabaran kita diuji supaya kita tidak cepat berputus
asa. Jika hal demikian bisa dilakukan maka rasa bangga dan puas pun pasti kita
rasakan. Inilah buah dari kesabaran yang dimaksud. Artinya, dengan ini maka sikap
sabar pun tertanam dalam diri kita.
Kedua,
matematika mengajarkan seseorang untuk bersikap konsisten (istikamah). Tidak
percaya? Baiklah, saya akan mencoba menjelaskannya. Misalnya, dalam penggunaan
notasi, matematika juga konsisten. Jika di awal penulisan kita menetapkan A dan
B masing-masing menotasikan pernyataan satu dan pernyataan dua, maka dalam
penulisan ke bawahnnya (baca: penulisan selanjutnya) juga harus menggunakan
notasi atau simbol tersebut untuk menotasikan pernyataan yang sama.
Sederhananya, harus konsisten. Tidak boleh plin-plan.
Ketiga,
matematika mengajarkan sifat jujur dan amanah (dapat dipercaya). Untuk
mengawalinya, coba simak ulasan berikut. “Era kontemporer ini, sulit untuk
tidak menaruh sikap buruk sangka, umumnya. Contoh: bila ada orang datang pada
kita dengan menyodorkan sumbangan untuk yayasan B, barangkali sebagian hati
kita akan curiga tentang kebenarannya. Ketika ada penjual produk C yang
mengatakan keaslian produknya dengan harga yang ramah di kantong (relatif lebih
murah) menawarkan kepada kita, mungkin kita juga ada rasa khawatir tentang
kualitasnya, jangan-jangan produknya palsu. Dan lainnya. Mengapa kita menjadi
tidak mudah untuk bersikap percaya? Jawabannya jelas, yaitu karena terlalu
banyak orang dusta (tidak jujur).”
Lalu, bagaimana dengan
matematika? Orang (Anda semua) boleh meragukan kebenaran suatu pernyataan
tertentu dalam matematika. Tapi satu yang pasti, pernyataan, teorema, dalil,
formula/rumus dalam matematika baru bisa diklaim atau dikatakan sebagai suatu
pernyataan yang bernilai benar jika pernyataan, teorema, dalil, formula/rumus
itu dapat dibuktikan atau ditunjukkan kebenarannya. Nah, untuk membuktikan atau
menunjukkan kebenaran yang dimaksud adalah tentu dengan cara membuktikannya
(menunjukkan pembuktiannya). Ini artinya tidak ada dusta (bohong) dalam
matematika.
Supaya lebih jelas,
perhatikan contoh berikut: Ketika kita mengatakan pada orang lain, “0,232323… adalah bilangan rasional.”
Jika ada orang yang masih ragu dengan pernyataan tersebut, maka kita harus bisa
menunjukkan kebenarannya dari apa yang kita ucapkan itu. Bagaimana caranya?
Silakan simak caranya berikut ini!
Mula-mula kita harus
berangkat dari definisi tentang bilangan rasional itu sendiri. Dari segi
definisi, menunjukkan bahwa bilangan
rasional merupakan bilangan yang dapat dituliskan dalam bentuk: a/b, di mana a
dan b adalah bilangan bulat, dan b tidak sama dengan nol. Setelah itu, akan
ditunjukkan bahwa bilangan 0,232323… adalah bilangan rasional. Andaikan x =
0,232323… maka 100x = 23,232323…. Berdasarkan dua persamaan ini (100x =
23,232323… dikurangi x = 0,232323…) maka akan diperoleh, bahwa nilai x = 23/99.
Dari sini jelas, bahwa ternyata 0,232323… adalah hasil dari pembagian 23/99.
Dengan demikian, terbukti bahwa 0,232323… merupakan bilangan rasional.
Budi Manfaat (2010:
139) mengatakan bahwa, seorang Matematikawan adalah seorang yang jujur. Jika
sudah terbukti kebenarannya maka ia akan mengatakan bahwa itu benar. Jika belum
terbukti maka ia akan mengatakan bahwa itu masih merupakan suatu dugaan
(hipotesa). Nah, sikap yang seperti inilah, secara tidak langsung akan tertanam
dalam diri kita. Kita akan menjadi seorang yang jujur, dan orang lain pun akan
memercayai kita karena kita amanah.
Keempat,
matematika mengajarkan toleransi bagi siapa pun yang memahami dan mau
mengkajinya. Mengapa saya mengatakan hal demikian? Sebab, bila dalam satu kelas
yang notabenenya terdiri dari siswa yang beragam ras, suku, dan agama,
misalnya, diberikan satu soal esai yang sama maka siswa-siswa yang ada dalam
satu kelas tersebut bisa saja menyelesaikan soal atau pertanyaan tersebut
dengan cara yang berbeda, namun memiliki hasil yang sama (benar). Apakah di
sini ada yang salah? Jawabannya, tentu tidak. Semasih prosedur kerja atau
langkah-langkah penyelesaian tidak keluar dari koridor (walaupun berbeda) dan
menunjukan akhir atau hasil yang sama, maka semuanya itu benar dan sah. Mengapa
demikian? Sebab, inilah salah satu keunikan matematika, yaitu banyak jalan atau
cara untuk menyelesaikan suatu persoalan dan tentu mengarah kepada hasil yang
sama. Nah, di sinilah muncul sikap toleransi (menghargai perbedaan proses atau
metode penyelesaian).
Sekali lagi, karena
banyak jalan, cara atau metode yang harus ditempuh untuk menyelesaikan setiap
persoalan dalam matematika, maka dari sini muncul sikap untuk saling menghargai
satu sama lain. Saling menghargai antara pendapat si A dan si B. Antara
pendapat si C dan si D, dan seterusnya. Tidak saling menyalahkan satu sama lain,
mengklaim kebenaran sepihak. Apalagi sampai
memfitnah satu sama lain. Cara yang ditempuh boleh beragam atau berbeda,
asalkan mencapai tujuan atau hasil yang sama. Itulah, matematika. Mampu
mengajarkan sekaligus menumbuhkan sikap toleransi antara sesama. Mampu
menyatukan yang berbeda-beda.
Asyik kan, matematika.
Sebenarnya, masih banyak lagi nilai-nilai pendidikan karakter yang bisa
diperoleh dari belajar matematika dan/atau dari konsep dalam matematika. Anda
mungkin bisa menggalinya sendiri. Jadi, mulai dari sekarang mari kita melihat
segala sesuatu jangan hanya tampilan fisik atau yang tampak oleh mata kepala
saja, akan tetapi mari kita coba menggali kira-kira apa saja hal-hal yang
tersirat (yang tak bisa dilihat oleh mata kepala). Sehingga, apa pun yang kita
pelajari tidak terbuang cuma-cuma.
Yuk, kita belajar dari
konsep yang ada dalam matematika, sehingga sikap konsisten, sabar, jujur,
saling menghargai perbedaan (toleransi), dan nilai pendidikan karakter lainnya
tertanam dalam diri kita. Jangan pernah berhenti untuk belajar, kapan pun, dari
siapa pun, dan di mana pun kita berada, sehingga kita semakin berdewasa dalam
berpikir, bertutur, bertindak, dan berbuat.
Wallahu a’lam.
Catatan: Tulisan ini telah dimuat dan diterbitkan dalam buku
“PENDIDIKAN KARAKTER: STRATEGI & AKSI, Hidup dengan Energi Positif, Menjadi
Pribadi yang Lebih Baik.”
Share This :
comment 0 comments
more_vert