Oleh: Gunawan
Tulisan ini saya tulis
dan terinspirasi setelah saya menonton salah satu acara di Youtube pada Sabtu,
3 Juni 2017 sebelum makan sahur. Acara yang saya tonton lewat Youtube tersebut
merupakan salah satu acara pencarian bakat yang paling bergengsi di Amerika,
yaitu America’s Got Talent (AGT) 2017. Dipublikasikan pada 30 Mei 2017, dan
sampai 4 Juni 2017 sudah 11, 6 jutaan
kali ditonton.
Pada acara tersebut
salah satu pesertanya adalah berasal dari Indonesia. Namanya, Demian Aditya.
Beliau merupakan seorang pesulap yang mencoba mengikuti ajang AGT tersebut.
Saya rasa sebagian besar dari kita pasti tahu beliau. Beliau merupakan salah
seorang pesulap/ilusionis ternama Indonesia.
Aksi yang beliau
lakukan pada AGT tersebut, memang sangat menegangkan. Sampai-sampai para juri
pun dibuatnya tercengang. Demikian juga dengan para penonton dalam studio
tersebut. Namun, karena namanya sulap, beliau berhasil melakukannya dengan
“sempurna.” Jurinya meloloskan beliau untuk ke tahap selanjutnya. Silakan bagi
yang penasaran, boleh lihat dan tonton langsung di Youtube. Maaf, bukan promosi
ya. Hanya saja untuk meyakinkan Anda, para pembaca.
Tentu, sebagai orang
Indonesia, saya merasa bangga. Beliau mampu membawa nama Indonesia ke kancah
internasional. Sungguh patut dihargai dan perlu kita tiru.
Namun, ada hal yang
sama sekali tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ternyata, di kolom
komentar, tidak sedikit yang mencibirnya. Bilang ini dan itu.
Bermacam-macamlah. Walaupun, banyak juga yang memberikan komentar positif. Yang
memberikan komentar positif tersebut sebagian besar adalah orang-orang luar
negeri.
Dan yang membuat saya
prihatin adalah justru yang berkomentar negatif adalah datangnya dari warganet
Indonesia sendiri. Aneh, orang-orang di negara lain kagum dan bangga dengan
beliau. Justru, “orang-orang” Indonesia asli yang tidak bangga dengannya. Saya
beri tanda kutip pada “orang-orang”, karena tidak semua juga melakukan hal
demikian. Hanya sebagian.
Inilah realita
“masyarakat” Indonesia. Pintarnya cuman bicara. Jagonya hanya berkomentar.
Namun, sama sekali tidak mampu berkarya. Pertanyaan kemudian adalah, apakah
kita mampu dan bisa berkarya seperti beliau? Ya, hanya diri kita masing-masing
yang bisa menjawabnya.
Sebenarnya, hal yang
seperti tersebut di atas sudah sering kita lihat. Misalnya saja bagi seorang
penulis. Waktu Kopdar IV SPN di ITS Surabaya pada 21 Mei 2017 lalu, Dr. Ngainun
Naim selaku narasumber sempat juga menyinggung masalah yang satu ini. Bahwa,
memang banyak di antara orang Indonesia yang hanya jago berkomentar, namun
minim bahkan sama sekali belum pernah berkarya tulis. Pintar berkomentar dan
mengkritik karya tulis orang lain, namun dirinya belum pernah menghasilkan
karya tulis. Maka, tidak heran juga, jika Rektor ITS (Prof.
Ir. Joni Hermana, M.Sc.ES.,Ph.D.) dalam sambutannya di acara Kopdar IV SPN
tersebut, mengatakan bahwa “bangsa Indonesia adalah bangsa penutur, bukan
bangsa penulis.”
Selain dari dua contoh kasus di atas, banyak juga
kasus yang lainnya. Namun, cukup saya menjelaskan dan memaparkan dua itu di
atas. Paling tidak, itu bisa mewakili.
Terakhir, yang ingin
saya sampaikan lewat tulisan ini, mari kita mendukung siapa pun yang mampu dan
bisa berkarya. Siapa pun ia, mari kita support.
Hargailah setiap karya orang lain. Apalagi sampai ia bisa membawa dan
mengharumkan nama Indonesia di dunia Internasional. Bukan malah sebaliknya,
kita mencibir dan mencacinya.
Berbangga dan
berbahagialah bila ada orang lain yang mampu berkarya, apa pun namanya.
Orang-orang yang punya talenta demikian butuh motivasi dan support dari kita. Dukunglah ia, minimal melalui komentar-komentar
yang dapat memberikan energi positif baginya untuk terus berkarya. Ini jauh
lebih baik daripada hanya jago atau sekadar berkomentar yang negatif, namun
minim bahkan sama sekali tidak pernah dan tidak bisa berkarya.
Wallahu a’lam.
Share This :
comment 0 comments
more_vert