Oleh: Gunawan
Dalam kehidupan
berorganisasi, membaca dan menulis merupakan suatu keharusan yang mesti
dilakukan oleh setiap orang yang telah bergabung di dalamnya. Membaca yang
dimaksud di sini, adalah dalam arti luas. Tidak hanya membaca buku, namun juga
membaca karakter masing-masing, membaca kebutuhan dan keinginan bersama demi
mewujudkan visi-misi organisasi yang dimaksud, dan lain-lain.
Demikian juga dengan
kegiatan menulis. Menulis juga tidak terlepas dari dunia organisasi. Contoh
sederhana, ketika melakukan rapat-rapat, baik rapat panitia maupun pengurus,
maka semua hasil rapatnya harus ditulis oleh seorang notulen atau sekretaris
dan kemudian ditindaklanjuti. Hematnya, membaca dan menulis merupakan dua
aktivitas yang tidak bisa dipisahkan dalam berorganisasi.
Tanpa membaca, maka
pemimpin organisasi mustahil bisa mengetahui apa yang harus ia lakukan untuk
menjalankan roda organisasinya. Tanpa membaca, tidak mungkin ia mengetahui
karakter dari setiap bawahannya. Tanpa membaca, barangkali ia tidak bisa mengetahui
mau diapakan organisasi yang ia pimpin tersebut.
Seorang pemimpin harus
mampu membaca dan memetakan di mana sisi kelebihan, dan kekurangan yang
dimiliki oleh organisasinya. Pun juga yang datang dari luar (eksternal), yaitu
ia harus mampu membaca dan mengetahui kira-kira peluang dan ancaman seperti apa
yang ada di luar sana. Paling tidak, membaca keempat elemen ini harus mampu
diketahui oleh pemimpin di setiap organisasi. Sebab, ini merupakan salah satu
modal primer agar bisa menggerakkan organisasi ke depannya.
Demikian juga dengan
semua personil lainnya. Membaca juga perlu dan wajib dilakukan. Untuk
mengetahui isu-isu terkini, berita, dan informasi di luar organisasinya, maka
mau tidak mau ia harus membaca, entah itu membaca yang sifatnya tersurat maupun
tersirat. Dari hasil bacaan itu, alangkah bagus lagi bila dituliskan kemudian
disampaikan kepada seluruh rekannya dalam organisasi yang dimaksud.
Apa pun jenis dan
bentuk organisasi, akan jauh lebih hebat lagi, bila bisa menghasilkan karya
tulis berupa buku. Ya, minimal buku antologi (karya bersama). Syukur-syukur
kalau masing-masing anggota bisa menghasilkan buku solo. Ini menurut saya,
organisasi plus-plus. Perlu ditiru
oleh organisasi-organisasi lainnya.
Alhamdulillah, dari
beberapa organisasi yang saya ikuti, ada satu organisasi yang sekarang sudah
mulai menggarap buku antologi pertama. Belum lama memang. Baru beberapa hari
yang lalu disepakati untuk menuliskan satu buku antologi perdana.
Awalnya, memang saya
berinisiatif untuk menggaungkan literasi di organisasi yang saya “bina” ini,
terkhusus yang berkaitan dengan tulis-menulis. Sebab, saya perhatikan sudah
banyak yang mampu mencurahkan berbagai pengalaman dan cerita kehidupannya lewat
tulisan. Lalu, di kemudian hari, dibuatlah grup literasi oleh Sekretaris Umum,
sebagai wadah khusus untuk mempublikasikan tulisan-tulisan dari setiap anggota.
Alhasil, gagasan
tersebut akhirnya tercapai juga. Beberapa dari anggota yang bergabung sudah
mampu menulis, walaupun belum bisa istikamah. Persoalan istikamah hanya butuh waktu
dan kebiasaan saja. Paling tidak, saya merasakan kebahagiaan karena mereka
sudah mau berbagi pengetahuan, cerita, dan pengalaman lewat tulisan.
Nah, untuk menumbuhkan
minat, motivasi, dan semangat berliterasi di antara mereka, akhirnya saya
dengan senior-senior yang bergabung di organisasi tersebut sepakat untuk
merancang salah satu program yaitu, penulisan buku antologi. Tentu dengan
harapan, selain dari yang telah disebutkan di atas, juga untuk menyadarkan
mereka bahwa menulis itu merupakan suatu kewajiban. Terlebih menulis buku.
Dan secara pribadi
juga, saya ingin organisasi ini bisa menjadi organisasi percontohan dan teladan
bagi organisasi-organisasi kedaerahan lainnya (khususnya, Organda Bima-Dompu)
di kota Makassar. Oww iya, hampir saya lupa menyampaikan nama organisasinya.
Organisasi yang saya ceritakan di atas adalah Wadu Tunti Community (WTC). Salah
satu organisasi daerah (Organda) Bima-Dompu yang berada di kota Makassar.
Mulanya organisasi ini bernama IPMI (Ikatan Pelajar Mahasiswa Bumi Pajo)
Makassar. Namun, 2016 lalu, namanya diganti menjadi WTC (Wadu Tunti Community).
Wallahu a’lam.
Share This :
comment 0 comments
more_vert