Oleh: Gunawan
Pertengahan tahun 2005,
dua belas tahun yang lalu, kedua kalinya aku harus merantau. Jauh dari orangtua
dan keluarga. Ya, aku harus berkelana untuk mencari butiran-butiran ilmu yang
bertebaran di alam nyata. Aku mulai berkemas dan meninggalkan kampung halaman
menuju tempat “pertapaan” intelektual yang baru.
Aku memilih sekolah
yang jaraknya lumayan jauh dari kampungku, kurang lebih 68 kilometer. Oleh
karena tak dekat, aku pun memutuskan untuk tinggal di kos-kosan. Namun, berkat
Tuhan, aku pun diberikan kesempatan untuk tinggal di Perumahan Guru oleh
guru-guruku, yang kebetulan masih ada beberapa kamar yang kosong. Tentu, hatiku
senang dan bahagia, sebab aku bisa tinggal di Perumahan Guru bersama dengan
teman-teman yang lain sesama anak perantau.
Juga, aku sangat
bersyukur karena bisa tinggal berdekatan dengan sebuah masjid yang begitu megah
dan luas. Masjid Ruhama’u Bainahum, namanya. Namun, lebih dikenal dengan masjid
Pancasila. Saya kurang tahu secara pasti, mengapa sering disebut dan lebih
dikenal sebagai masjid Pancasila. Namun, menurut cerita beberapa warga di
sekitar masjid, bahwa masjid tersebut dibangun pada masa pemerintahan Soeharto.
Juga, langsung diresmikan oleh Presiden RI yang kedua itu sendiri. Barangkali,
itu asal mula disebut sebagai masjid Pancasila.
Ya, tentu sebagai
seorang pelajar, di samping bersekolah dan menimba ilmu dari ibu/bapak guru,
aku tak lupa menyempatkan diri untuk beribadah kepada-Nya, khususnya shalat
berjamaah di masjid yang begitu indah itu. Bukan hanya itu, bagiku masjid
Pancasila seperti yang dimaksud di atas seolah seperti rumah keduaku. Sebab,
hampir setiap malam, aku bermalam di masjid tersebut. Tentu, atas izin dari
Pengurus Masjid.
Aku lebih nyaman
bermalam dan istirahat di masjid tersebut ketimbang di kos-kosan (baca: Perumahan
Guru). Begitu pula, dengan teman-temanku yang lain. Tiap malam tiba, sekitar
pukul 21.30 WITA, kami langsung bergegas menuju masjid untuk berbaring dan
istirahat, melepaskan penat setelah seharian bersekolah dan membantu warga di
sekitar bila ada yang butuh bantuan kami.
Tak hanya sebagai
“rumah” tempat istirahat bagiku, belajar pun aku lebih sering di dalam masjid.
Entah itu sepulang sekolah atau di kala orang tertidur lelap. Aku merasakan
kenyamaan dan kenikmatan yang begitu nikmat ketika belajar dan membaca al-Quran
di masjid. Aku begitu menikmatinya.
Tiga tahun berjalan dan
lamanya menimba ilmu di tanah perantauan tersebut, bisa dihitung jari aku tidur
di kos-kosan. Sebagian besar waktuku bermalam dan melepaskan lelah di dalam
masjid. Hanya ketika bermain, makan/minum, dan berganti pakaian saja aku berada
di kos.
Aku bersyukur, karena
bisa berkenalan dengan Pengurus Masjid yang begitu baik. Sehingga, aku pun
diizinkan untuk belajar dan bermalam di masjid, asalkan tidak membuat onar, dan
juga kebersihan lingkungan masjid harus dijaga. Ya, aku dan teman-teman yang
lain juga seringkali membersihkan tempat ibadah tersebut, membantu meringankan
beban petugas dan pengurus masjid.
Wallahu a’lam.
Share This :
comment 0 comments
more_vert