Oleh: Gunawan
Menarik memang bila
berbicara tentang dunia sekolah atau kampus. Sekolah atau kampus merupakan
jenis institusi formal. Di mana, sekolah merupakan tempat siswa menimba ilmu
secara formal. Sedangkan, kampus atau perguruan tinggi merupakan tempat di mana
seorang yang bernama mahasiswa menimba ilmu secara formal.
Dalam kaitannya dengan
proses pembelajaran/perkuliahan baik yang dilakukan oleh siswa di sekolah
maupun oleh mahasiswa di kampus tempatnya “bertapa”, ia harus mengikuti semua
peraturan yang ada. Tentu peraturan yang dimaksud untuk kebaikan siswa maupun
mahasiswa itu sendiri.
Bila siswa atau pun
mahasiswa mematuhi peraturan yang berlaku (tidak melanggar), maka boleh
dibilang dalam proses ia menimba ilmu di lembaga yang dimaksud kemungkinan
besar akan berjalan dengan mulus tanpa hambatan.
Misalnya, mengikuti
pembelajaran atau perkuliahan sesuai dengan kesepakatan bersama, antara siswa
dan guru, maupun antara mahasiswa dan dosen yang bersangkutan. Sebaliknya, bila
hal demikian dilanggar bisa jadi akan berimbas pada siswa atau pun mahasiswa
itu sendiri, misalnya ketinggalan materi pembelajaran/perkuliahan, dan lainnya.
Aturan yang dibuat
bersama, seharusnya bisa dilaksanakan semaksimal mungkin agar apa yang ditargetkan
sebelumnya bisa tercapai. Bukan sebaliknya semena-menanya dilanggar, apalagi
tanpa diterapkannya sanksi yang tegas.
Dalam tulisan singkat
ini, ada beberapa hal yang ingin saya “kritik” dari berbagai kebijakan atau
aturan yang diterapkan baik di lingkungan sekolah maupun kampus/perguruan
tinggi. Tentu ini, sebagai bahan evaluasi secara bersama-sama.
Pertama,
mengenai waktu pembelajaran atau perkuliahan. Biasanya, guru atau dosen pada
pertemuan pertama pembelajaran atau perkuliahan akan ada kontrak
pembelajaran/perkuliahan yang mana format kontrak yang dimaksud sudah
disediakan oleh guru atau dosen yang bersangkutan. Biasanya, dalam
kontrak/perjanjian yang dimaksud salah satunya berisi waktu dimulai dan
berakhirnya proses pembelajaran/perkuliahan. Namun, kadang di dalam tahap
implementasinya kurang mau diindahkan/dipatuhi. Misalnya, barangkali
siswa/mahasiswa yang terlambat, mungkin juga guru/dosen yang terlambat. Kadang
beralasan, kadang juga tanpa alasan yang jelas.
Contoh, misalnya di
dunia kampus. Pernah dahulu ketika saya kuliah, ada salah satu junior saya yang
menghampiri saya di luar ruang kelas. Sementara teman-temannya sedang menerima
materi perkuliahan di dalam ruangan. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak disuruh
oleh dosen masuk ruang kelas untuk mengikuti proses perkuliahan lantaran
keterlambatannya. Mungkin, dari kasus ini sebenarnya hal yang wajar saja, sebab
barangkali ia sudah melanggar aturan yang telah disepakati bersama. Tetapi, ada
satu kasus lagi yang kami (saya dan teman-teman) alami. Di mana waktu itu,
dosennya yang terlambat hampir satu jam perkuliahan (tanpa ada informasi
sebelumnya), sementara kami selaku mahasiswa sedang menantinya. Dosen yang
dimaksud tetap bisa masuk ruangan.
Di sini, menurut saya
tidak adil. Ketidakadilan yang dimaksud adalah ketika mahasiswanya yang
terlambat tidak diizinkan masuk ruangan dan menerima perkuliahan darinya,
sementara bila dosennya sendiri yang terlambat tanpa ada alasan/informasi
keterlambatan sebelumnya tetap bisa masuk ruangan. Inilah menurut saya, bahwa
aturan yang dibuat sebelumnya hanya sekadar formalitas belaka, bahkan dalam
implementasinya ada salah satu pihak yang merasa dirugikan (sebab
diskriminasi). Kasus yang seperti ini juga, sebenarnya hampir sama yang saya
alami ketika sekolah dahulu.
Kedua,
mengenai kehadiran. Untuk masalah yang kedua ini, saya ingin menyorot pada
insan yang bernama mahasiswa saja. Mahasiwa, kadang ada saja yang berbuat
curang (tidak jujur) dalam hal kehadiran. Istilahnya sekarang adalah “mahasiswa
siluman.” Yang bersangkutan tidak hadir di ruangan kelas untuk menerima
perkuliahan, namun di presensinya terdapat tanda tangannya (hadir). Biasanya
mahasiswa yang seperti ini, sebelumnya menitipkan pesan kepada salah satu
temannya yang hadir agar di daftar hadir tersebut ditulis hadir (tanda tangan).
Sederhananya, mahasiswa lain yang bertanda tangan atas namanya (nitip tanda
tangan).
Pihak dosennya pun
kadang tidak mau memperhatikan hal yang demikian. Kasus yang dilakukan oleh
mahasiswa yang bersangkutan sebenarnya imbasnya tentu kembali kepada pribadinya
sendiri. Ia telah membohongi dirinya. Padahal, salah satu tujuan kita dalam
berpendidikan adalah untuk menanamkan nilai kejujuran.
Hal demikian juga
sebenarnya bukan tanpa alasan. Mahasiswa tersebut tidak mau kalau nilainya
kurang bagus oleh karena ketidakhadiran beberapa kali. Miris rasanya. Gara-gara
takut nilai “jelek”, kejujurannya pun diobral.
Semuanya hanya sebatas
formalitas. Mereka tidak peduli dengan kecurangan atau hal negatif lain yang
dilakukannya, asalkan bisa mendapatkan nilai yang bagus. Padahal, yang mesti
diperhatikan adalah hal yang substansial. Mendapatkan nilai dengan cara yang
tidak baik (curang, dan lainnya) adalah contoh yang tidak baik. Tidak perlu
ditiru oleh yang lainnya.
Perlu diingat oleh kita
semua, bahwa tujuan pendidikan adalah mencetak generasi yang berakhlak. Bukan
hanya sekadar cerdas dalam ranah pengetahuan (kognitif) sehingga ujung-ujungnya
hanya ingin memperoleh nilai yang bagus, tetapi yang utama adalah cerdas dalam
berakhlak.
Oleh karena itu, sudah
seharusnya kita semua berbenah diri. Siswa, mahasiswa, guru, maupun dosen,
semuanya harus introspeksi diri agar segala bentuk aktivitas kita di lingkungan
sekolah atau pun kampus tidak hanya sekadar formalitas belaka. Bila semuanya
sadar, maka tujuan utama pendidikan akan bisa tercapai, sehingga terciptalah
generasi yang betul-betul menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kebenaran,
tanpa ada rekayasa.
Wallahu a’lam.
Share This :
comment 0 comments
more_vert