Oleh: Gunawan
Mulai Maret sampai
April 2016 lalu, saya menyempatkan diri untuk membantu kedua orang tua di
ladang jagung yang berlokasi di sebelah selatan desa Bumi Pajo, kecamatan
Donggo, kabupaten Bima. Kala itu, jagungnya sudah siap panen. Dan ladang jagung
yang dimaksud ada dua tempat. Letak di antara keduanya tidak terlalu jauh.
Lebih kurang satu kilometer.
Dari awal panen sampai
selesai, saya bermalam di ladang jagung yang dimaksud. Alasannya sederhana.
Karena letaknya sangat jauh dari kampung. Jaraknya, lebih kurang sepuluh
kilometer. Daripada saya pulang pergi dan menghabiskan tenaga dan waktu, lebih
baik saya bermalam saja di ladang tersebut. Saya ingin memanfaatkan waktu
tersebut, mumpung masih bisa membantu kedua orang tua. Maklumlah profesi orang
tua saya sebagai petani. Jadi, sudah pasti kesehariannya berada di sawah atau
di ladang.
Bermalam di ladang itu
mempunyai cerita tersendiri. Sebab, jauh dari keramaian. Jauh dari informasi.
Jauh dari menikmati berita-berita di media televisi, dan lainnya. Namun, walau
demikian, bermalam di ladang jagung tersebut tentu sangat nikmat bagi saya
sendiri. Saya bisa merasakan ketenangan. Saya bisa menikmati isi alam yang
berlimpah, terutama sayur-sayuran. Saya bisa berbagi cerita dengan orang tua dengan
leluasa, tidak seperti ketika bermalam di rumah (di kampung).
Tentu karena
bermalamnya di ladang, maka alat dan perlengkapan tidur pun tidak sama dengan
bermalam di rumah. Ya, alat dan perlengkapan tidur pun seadanya. Tempat
tidurnya sangat sederhana. Istilahnya di kampung saya adalah “salaja.” Semacam gubuk kecil. Ukurannya
kira-kira 2x2,5 meter. Ya, lumayanlah. Salaja
tersebut pun, beralaskan bambu. Dinding salaja
tersebut adalah menggunakan papan kayu dan sebagiannya seng.
Ketika malam tiba, maka
tubuh ini mulai merasakan dingin. Perlahan-lahan menembus tubuh ini. Ya,
maklumlah namanya di gunung/ladang. Ya, pasti dinginlah. Malamnya pun, hanya
ditemani oleh suara jangkrik dan kodok. Di malam yang sunyi dan gelap tanpa ada
listrik seperti di kampung, saya dan orang tua saya bermalam. Dan subuhnya,
kami sudah bangun. Kemudian shalat, masak, sarapan, lalu mandi. Pagi-pagi saya
dan orang tua, sudah langsung bekerja untuk memetik atau memanen jagung
tersebut.
Orang lain yang
mempunyai ladang jagung di samping kiri kanan kami masih berada di perjalanan.
Sementara, kami sudah mulai bekerja. Artinya, bahwa kami bisa bekerja memanen
jagung tersebut lebih awal ketimbang dengan orang yang tidak bermalam di ladang
jagung. Begitu pula, ketika sore hari. Orang lain selesai bekerja sekitar pukul
15.30 dan langsung pulang ke kampung. Sebab, perjalanan pulang bisa memakan
waktu kurang lebih 2 jam. Wajarlah, kalau orang lain lebih cepat istirahat
untuk bekerja. Namun, kami tidak demikian. Kami masih bekerja sampai sekitar
pukul 17.00. Sebab, sekali lagi kami hanya bermalam di ladang jagung, alias
tidak pulang bermalam di rumah.
Begitu yang saya
lakukan sampai kurang lebih satu bulan. Kadang saya bermalam dengan bapak.
Kadang dengan ibu. Kadang dengan kedua-duanya (bapak dan ibu). Bahkan, pernah
juga bermalam sendirian. Itu saya lakukan sampai jagung pada dua tempat yang
berbeda tersebut selesai panen.
Tentu rasa lelah dan
capek pasti ada. Namun, rasa itu terbayarkan ketika jagung tersebut sudah
selesai panen dan siap dibawa ke gudang (tempat pembeli). Artinya, bahwa orang
tua saya, tidak lama lagi akan menerima uang dari hasil penjualan jagung
tersebut.
Bahagia rasanya karena
masih bisa membantu kedua orang tua saya ketika pulang di kampung halaman.
Sebab, sebelumnya saya berada di tanah rantauan (di Makassar) untuk menimba
ilmu. Saya sangat bersyukur karena masih bisa kembali untuk membantu kedua
orang tua bekerja di ladang. Walaupun, sebelumnya ketika SD, SMP, dan SMA saya tetap meluangkan
waktu untuk membantu kedua orang tua saya. Namun, itu sudah lama sekali.
Bahagia dan senang
rasanya karena sedikit bisa membantu meringankan beban pekerjaan kedua orang
tua saya. Bahagia rasanya karena bisa melihat senyum dan tawa kedua orang tua
di saat bekerja bersama-sama. Saya perhatikan setiap kali bekerja, orang tua
saya tidak pernah merasakan lelah dan capek. Bahkan, sampai keringkat
“membanjiri” tubuhnya, beliau berdua bila disuruh istirahat, keduanya tidak mau
untuk beristirahat. Beliau berdua tetap melanjutkan pekerjaannya.
Terima kasih Tuhan,
Engkau telah memberikanku kedua orang tua yang begitu tegar dan bersemangat
mencari nafkah demi menghidupi anak-anaknya. Engkau telah memberikanku kedua
orang tua yang selalu mengajarkanku untuk selalu mengingat-Mu. Tuhan,
mudahkanlah kedua orang tuaku untuk mencari nafkah dan rezeki yang halal untuk
menafkahi anak-anaknya. Dan teruslah bimbing kami untuk tetap beribadah
kepada-Mu. Aamiin.
Wallahu a’lam
Share This :
comment 0 comments
more_vert