Oleh: Gunawan
Saya mengibaratkan
menulis itu layaknya orang yang bernapas. Ada waktunya untuk menghirup, dan ada
waktunya juga untuk menghembus. Menghirup dan menghembus merupakan dua
aktivitas yang berbeda, namun tidak bisa dipisahkan. Keduanya, berada dalam
satu kesatuan.
Para penulis produktif
pun, sudah pasti melakukan kedua aktivitas ini. Menghirup yang saya maksud di
sini adalah menyerap semua informasi, ide, dan pengetahuan, baik dari sesuatu
yang dibaca, dilihat, dirasakan, dan lainnya. Sedangkan, menghembus merupakan
aktivitas menulis itu sendiri. Maksudnya, setelah berbagai ide, informasi, dan
atau pengetahuan kita serap, kemudian kita abadikan dalam bentuk tulisan.
Bila menghirup dan
menghembus ini selalu berjalan beriringan, maka proses “pernapasan” tentu tidak
akan tersendat. Ya, proses pernapasan akan lancar. Ia akan terus mengalir,
mengalir, dan mengalir. Sehingga, produktivitas dalam menulis bisa dihasilkan.
Memang, untuk menemukan
ide atau inspirasi itu, mau tidak mau kita harus “membaca.” Membaca yang saya
maksud di sini adalah tidak hanya membaca teks atau konsep dalam berbagai buku.
Namun, lebih dari itu. Ya, kita membaca keadaan lingkungan sekitar. Membaca
terhadap sesuatu yang dilihat. Membaca terhadap sesuatu yang didengar. Membaca
terhadap sesuatu yang dirasakan. Pun juga membaca terhadap sesuatu yang dialami.
Dengan demikian,
ide-ide akan terus mengalir tanpa henti. Keseringan kita membaca (yang tersurat maupun tersirat) maka akan
menambah wawasan dan pengetahuan kita. Sehingga, apa pun yang ingin kita tulis
akan terasa mudah. Seolah-olah aktivitas menulis kita kita mengalir tanpa henti, bak air sungai yang
mengalir ketika musim hujan. Jari-jemari kita terus bergerak, layaknya orang
yang sedang keasyikan bergoyang. Ya, proses “pernapasan” kita akan semakin
lancar.
Wallahu a’lam.
Share This :
comment 0 comments
more_vert