Oleh: Gunawan
Saya masih ingat ketika
duduk (menimba ilmu) di bangku sekolah dasar dulu. Dalam proses pembelajaran,
kami sebagai murid/siswa tentu hanya mengandalkan apa yang diajarkan oleh guru
di sekolah. Apa yang ditulis oleh guru di papan tulis maka itulah yang kami
tulis, kemudian kami mempelajarinya kembali ketika pulang sekolah.
Tidak ada alternatif
lain, selain dari mempelajari apa yang kami catat di papan tulis. Sebab, di
sekolah kami belum ada fasilitas, seperti buku-buku pelajaran. Guru kami pun
kadang pinjam buku ajar guru di sekolah lain. Wajarlah, karena fasilitas belum
ada. Tidak sama dengan sekolah-sekolah di kota besar yang barangkali, buku-buku
pelajaran sudah lengkap. Jadi, akses untuk memperoleh pengetahuan terbuka
lebar. Namun, sekali lagi, di sekolah kami sama sekali tidak demikian.
Bahkan, tak kala kami
melihat buku yang menjadi pegangan guru satu-satunya, kami pun berebut untuk
melihat isi dan membacanya. Tentu kala itu kami sangat senang. Apalagi di dalam
buku tersebut, banyak gambar yang dapat memberi edukasi bagi kami. Saya
perhatikan raut wajah teman-teman saya kala itu senang sekali. Bagi kami,
melihat dan membaca buku paket kala itu, seperti melihat emas. Sebab, itu
adalah hal yang baru dan istimewa bagi kami.
Sejak itulah, saya
memutuskan, bila nanti setelah lulus SD, saya harus menimba ilmu di daerah yang
fasilitasnya mendukung, seperti di pusat kota. Alasan saya sedehana saja. Saya
hanya ingin menikmati bagaimana rasanya belajar di sekolah yang fasilitasnya
(buku pelajarannya) memadai.
Alhamdulillah, impian
saya tersebut tercapai. Saya diterima di salah satu sekolah “unggulan” kala
itu, yaitu SMPN 1 Dompu. Betul memang, sekolah tersebut memiliki perpustakaan
yang isinya tentu dipenuhi dengan buku-buku pelajaran. Belum lagi sekitar lima
puluh meter di samping SMP tersebut terdapat perpustakaan daerah. Berarti, lengkap
sudah. Alhamdulillah, saya memanfaatkan waktu di tanah rantauan tersebut untuk
membaca buku-buku di perpustakaan, baik di perpustakaan sekolah maupun di
perpustakaan daerah. Walaupun tidak rutin setiap harinya. Tetapi, paling tidak,
saya sangat senang dan bahagia karena sudah merasakannya bagaimana belajar di
sekolah yang fasilitasnya memadai.
Memang betul, bahwa
fasilitas itu juga sangat penting untuk menunjang kelancaran dan keberhasilan
suatu proses pembelajaran. Selain untuk membantu guru dalam hal (proses)
memahami materi pelajaran, pun juga untuk meningkatkan minat baca siswa.
Oleh karena demikian,
tidaklah sepenuhnya benar bila ada yang mengatakan, bahwa minat baca orang
Indonesia itu rendah. Saya berani jamin yang satu ini. Hanya saja fasilitasnya
yang tidak merata (kurang memadai). Kalau tidak percaya, bolehlah kita
jalan-jalan di daerah-daerah pelosok yang sama sekali fasilitas, seperti
buku-buku dan bahan bacaan lainnya tidak ada. Kemudian pada saat yang bersamaan
kita menggandeng perpustakaan keliling untuk menuju ke sana. Saya jamin,
masyarakatnya, khususnya generasi muda, akan sangat senang dan antusias untuk
melirik isi-isi bahan bacaan tersebut.
Saya sudah buktikan
sendiri. Maret 2014, saya mendirikan Rumah Belajar Anak Tani di kampung saya.
Tentu, salah satu maksud dan tujuan saya adalah ingin menggaungkan literasi di
kampung saya, khususnya membaca. Bahan bacaan, seperti buku, novel, dan koran,
saya koleksi sendiri ketika kuliah di Makassar. Alhamdulillah, sekitar 350-an
eksemplar buku saya koleksi, kemudian semuanya saya bawa pulang ke kampung
halaman. Itulah sebagai salah satu fasilitas (bahan bacaan) yang dibaca oleh
generasi muda di kampung saya (yang sempat berkunjung ke Rumah Belajar Anak
Tani).
Saya sendiri sangat
bahagia dan senang. Ternyata generasi muda di kampung saya, khususnya,
semangatnya untuk belajar dan membaca semakin meningkat. Setiap selesai shalat
Magrhrib (dulunya), generasi muda di kampung saya berbondong-bondong datang ke
rumah untuk belajar (membaca dan menulis). Sebagian besarnya adalah siswa SD
dan SMP. Ada beberapa orang yang sudah
SMA, yang belum masuk sekolah, dan masyarakat umum.
Ini menurut saya, salah
satu bukti bahwa, sebenarnya manusia Indonesia minat bacanya tidak rendah.
Hanya saja persoalan fasilitas yang belum ada, khususnya di daerah pelosok atau
pedesaan yang terisolir. Seandainya fasilitasnya sudah merata sampai di
pelosok-pelosok, saya yakin minat baca masyarakat Indonesia sangat tinggi.
Apalagi kalau ada minimal satu orang yang mau memeloporinya di masing-masing desa
atau kampung.
Bukti lain, pernah juga
saya alami ketika kuliah di Makassar dulu. Salah satu aktivitas rutin saya
ketika di Makassar dulu (selain dari kuliah dan berorganisasi) adalah
mengunjungi berbagai toko buku. Alasannya, tentu untuk menikmati isi bukunya.
Kadang saya beli, namun lebih sering saya hanya membacanya saja. Apalagi kalau
hari-hari libur, biasanya saya bersama dengan teman-teman dari berbagai
organisasi sering memanfaatkan waktu untuk berkunjung ke toko buku.
Saya masih ingat suatu
waktu, hampir lima jam saya masuk di Gramedia, hanya untuk melirik isi-isi
buku. Belinya hanya satu buku saja. Itu pun yang harganya ramah di kantong.
Hehehe. Saya betul-betul memanfaatkan waktu kala itu, mumpung masih bisa
menimba ilmu di kota yang fasilitas, menurut saya, sudah over, dibanding di kampung saya.
Teman-teman (adik-adik
saya) juga yang konon, menurut guru-gurunya ketika masih duduk di bangku
sekolah malas membaca. Jangankan membaca, sekolah saja acap kali bolos. Namun,
ketika sudah menimba ilmu di kota Makassar yang di mana terdapat berbagai macam
bahan bacaannya, bahkan sudah “mubazir”, minat baca mereka sangat tinggi. Ya,
mereka selalu membaca buku.
Belum lagi kalau
teman-teman tersebut berkunjung ke kos temannya yang memiliki koleksi buku, pasti
mereka akan mencicipinya (membacanya). Hal ini juga, pernah saya berdiskusi
dengan teman-teman dari berbagai daerah. Tentunya, sama-sama anak rantauan yang
menimba ilmu di kota Daeng tersebut. Mereka pun mengatakan demikian. Di kampung
mereka fasilitas (bahan bacaan) masih minim. Namun, ketika mereka menimba ilmu
di kota Anging Mamiri tersebut, mereka juga kaget. Tiba-tiba selera mereka
terhadap buku semakin terasa. Mereka sangat suka sekali dengan aktivitas
membaca.
Nah, dari cerita
singkat saya ini, sudah tentu bahwa fasilitas itu sangat penting. Bila
fasilitas seperti yang dimaksud di atas merata sampai ke pelosok tanah air,
desa-desa terisolir, maka tidak ada lagi masyarakat yang “buta huruf.” Minat
baca masyarakat pun semakin meningkat. Percayalah!
Wallahu a’lam.
Share This :
comment 0 comments
more_vert