Oleh: Gunawan
Ketika masih di kota
Makassar dulu (Februari 2014), saya mengunjungi salah satu toko buku. Tujuan
saya mengunjungi toko buku tersebut adalah hanya ingin mencari buku-buku baru
dan tentu membacanya. Ya, saya hanya membacanya saja. Alias belum bisa
membelinya. Sebab, saya belum punya cukup uang kala itu. Mumpung juga, yang
jaga toko buku tersebut adalah teman saya. Asyik bisa baca gratis. Hehehe.
Salah satu buku yang
saya baca kala itu adalah buku karya Prof. Dr. Imam Suprayogo. Judulnya adalah
“Masyarakat Tanpa Ranking.” Penyuntingnya adalah M. Husnaini. Jujur, saya
betul-betul terhipnotis dengan isi buku tersebut. Apalagi bahasanya yang mudah
dimengerti. Tidak muluk-muluk. Sederhana dan gampang dipahami. Buku tersebut
merupakan kumpulan tulisan Prof. Dr. Imam Suprayogo yang telah diposting di
akun facebook-nya. Sekali lagi, isi
bukunya sederhana, tapi mengena dan sesuai dengan realita yang terjadi di
kehidupan masyarakat. Betul-betul hasil refleksi yang begitu dalam dan indah.
Setelah beberapa lembar
saya membaca buku tersebut, kemudian saya melihat profil Prof. Dr. Imam
Suprayogo dan juga M. Husnaini sebagai penyuntingnya. Saya betul-betul kagum
dengan beliau berdua. Akhirnya, saya mencatat nama lengkap beliau berdua. Maret
2014, saya mencoba berteman dengan Prof. Dr. Imam Suprayogo lewat facebook. Dan Februari 2015, saya juga mencoba
berteman dengan M. Husnaini lewat facebook.
Alhamdulillah, permintaan pertemanan saya diterima oleh beliau berdua. Mulai
dari situlah saya selalu mengikuti dan menanti setiap tulisan yang dihasilkan,
khususnya tulisan Prof. Dr. Imam Suprayogo. Bahkan, saya sering membagikan
tulisan atau tautan beliau.
Kala itu saya berharap,
suatu saat bisa bertemu langsung dengan beliau berdua. Atau paling tidak, bisa
belajar dari beliau berdua terkait dengan dunia tulis-menulis lewat dunia maya.
Itu adalah salah satu impian saya. Dan alhamdulillah, keinginan dan impian saya
tersebut terkabulkan oleh Tuhan. Awalnya, saya dipertemukan oleh Tuhan dengan
M. Husnaini lewat grup WA ABM, tepatnya 12 Januari 2017. Grup WA ABM (Aku Bisa
Menulis) tersebut merupakan salah satu grup literasi yang beliau rintis.
Kemudian, tidak
menunggu waktu lama, dua setengah bulan setelah itu (tepatnya 30 Maret 2017),
akhirnya saya menjadi bagian dari keluarga besar komunitas Sahabat Pena
Nusantara (SPN). Artinya, bahwa impian saya untuk menimba ilmu dan belajar dari
Prof. Dr. Imam Suprayogo terkabulkan juga, walau masih lewat dunia maya. Terima
kasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan saya dengan orang-orang yang begitu
tawaduk (rendah hati) dan energik, tidak hanya beliau berdua, namun juga dengan
seluruh yang telah bergabung di SPN.
Grup WA SPN ini
merupakan kumpulan penulis dari berbagai daerah yang ada di Nusantara ini. Bahkan, ada juga yang
berdomisili di negeri Jiran (Malaysia). Oleh karena di dalamnya berkumpul para
penulis, maka salah satu aktivitasnya adalah berbagi lewat tulisan.
Setiap hari saya selalu
mengikuti dan membaca setiap tulisan yang diposting oleh para guru di grup WA
SPN tersebut. Luar biasa dari pagi sampai pagi lagi, menunya hanya tulisan,
tulisan, dan tulisan. Menu yang begitu enak, nikmat, dan bergizi.
Tulisan-tulisan yang diposting merupakan hasil karya dari masing-masing anggota
SPN. Baik itu pemikiran, ide, pengalaman, dan lainnya. Setiap hari, itu yang
dilakukan. Sungguh, grup WA yang dipenuhi dengan mutiara pengetahuan dan ilmu.
Ya, grup WA SPN, menurut saya, merupakan grup WA yang sangat “sejuk dan adem.”
Jauh beda dengan beberapa grup WA lainnya yang saya ikuti.
Di grup WA SPN (Sahabat
Pena Nusantara) dari pagi sampai pagi lagi, saya rasakan sendiri, saya hanya
disuguhkan berbagai mutiara ilmu yang sangat bermanfaat. Sekali lagi, di sini,
semuanya saling berbagi dan memotivasi lewat tulisan. Baik terkait dengan
tulisan yang berhubungan dengan agama, sosial, kisah-kisah yang inspiratif, dan
lainnya. Pokoknya, setiap hari (pagi, siang, sore, malam) selalu disuguhkan
dengan mutiara-mutiara ilmu pengetahuan.
Di sini, tidak pernah
sedikit pun saya melihat orang yang saling menghujat, memaki, memfitnah,
berdebat yang tidak sehat, merasa diri paling hebat, merasa diri paling suci,
dan atau sejenisnya. Justru di sini, yang saya rasakan hanya “kesejukan.” Di
sini saya merasakan jiwa saya hidup. Satu lagi yang membuat saya bangga dengan
grup ini, tidak ada istilah senior maupun junior. Semuanya, sama-sama belajar.
Tidak ada yang saling menggurui. Semuanya sama-sama sebagai pelajar. Ya, saling
belajar satu sama lain. Sungguh indah.
Sejujurnya, saya sangat
beruntung dan bersyukur bisa diterima di grup WA SPN. Sebab, saya bisa belajar
banyak. Tidak hanya tentang dunia kepenulisan, namun lebih dari itu. Saya bisa
mempelajari maksud dan tujuan dari hidup ini sesungguhnya. Ya, di sini saya
bisa belajar langsung dengan para ahli di bidangnya masing-masing. Sekali lagi,
bersyukur rasanya, karena bisa menjadi bagian dari keluarga besar di grup WA
ini.
Satu lagi impian saya,
yakni ingin bertemu dan bertatap muka secara langsung dengan para anggota
komunitas Sahabat Pena Nusantara pun. Impian dan harapan tersebut, akhirnya
bisa saya wujudkan, yaitu melalui Kopdar IV SPN yang bertempat di ITS Surabaya,
Minggu, 21 Mei 2017. Alhamdulillah, saya bisa bertemu dan bersua dengan para
guru di komunitas Sahabat Pena Nusantara, walaupun belum sempat bertemu dengan
Prof. Dr. Imam Suprayogo. Terima kasih Prof. Dr. Imam Suprayogo, karena berkat
buku bapak-lah, sehingga saya bisa bertemu dan menimba ilmu di komunitas
Sahabat Pena Nusantara.
Wallahu a’lam.
Share This :
comment 0 comments
more_vert