Judul tulisan di atas,
tentu berupa sebuah kalimat tanya. Pertanyaan seperti yang tertera pada judul
di atas, merupakan pertanyaan yang saya lontarkan kepada rekan-rekan saya di
beberapa organisasi yang saya “bina” ketika berdiskusi dengan mereka beberapa
hari yang lalu. Saya melontarkan pertanyaan tersebut, karena masih banyak di
antara mereka yang merasa malu untuk menulis. Mereka ingin sekali belajar
menulis, namun dalam diri mereka masih ada rasa malu untuk memulainya.
Alasannya,
bermacam-macam. Ada yang malu bilamana tulisan yang dihasilkannya nanti tidak
berbobot/berkualitas. Ada yang takut dikritik. Ada yang takut salah. Pun, ada
juga yang masih minder dan belum percaya diri untuk mulai menulis.
Menurut saya, alasan
seperti yang tersebut di atas adalah hal yang wajar-wajar saja. Sebab,
barangkali ini merupakan sesuatu yang baru bagi mereka. Karena merupakan hal
yang baru, maka rasa cemas dan was-was pun pasti ada. Barangkali hal yang
seperti ini dirasakan juga oleh calon penulis, dan penulis pemula.
Namun, bila hal seperti
yang disebutkan di atas terus menghantui kita, sampai kapan pun kita tidak akan
bisa menulis dan menghasilkan karya tulis. Bukankah, ketika kita memasang atau
menuliskan status di media sosial, seperti Facebook,
Instagram, BBM, Line, Twitter, dan lainnya, kita tidak pernah cemas dan
was-was? Buktinya, kita bisa menulis status-status di berbagai media sosial
yang kita miliki. Itu dilakukan hampir setiap hari. Dan juga, status yang
ditulis/diposting setiap harinya terkadang bisa berpuluhan kali. Entah itu
status yang menggembirakan, menyedihkan, bahkan menyakitkan, banyak di antara
kita yang tetap mau “memamerkannya” lewat
media sosial.
Dalam diskusi tersebut,
kemudian saya mencoba meminimalisir rasa malu dan “ketakutan” mereka. Saya
katakan, “bahwa kalian tidak perlu malu, takut, atau apa pun namanya. Silakan
menulis saja apa adanya. Yang penting kalian menulis saja dulu. Tidak usah
takut dikritik, takut salah, takut dimaki, dan lainnya. Abaikan saja bila ada
komentar yang menurut kalian kurang menyenangkan. Jadikan itu sebagai motivasi
dan penyemangat kalian untuk terus menulis, menulis, dan menulis.”
Lanjut saya katakan,
“tulis saja seperti halnya kalian menulis status-status di media sosial
(medsos) milik kalian. Tumpahkan semua perasaan kalian, sehingga terurai
menjadi sebuah tulisan. Penting juga diperhatikan, tulislah sesuatu yang kalian
sukai, kuasai, dan pahami. Tujuannya, agar tulisan kalian mengalir. Misalnya,
yang disukai puisi maka tulislah puisi, suka cerita inspiratif maka tulislah
cerita inspiratif, dan lainnya.”
Alhamdulillah, setelah
saya berusaha meyakinkan mereka, selang beberapa jam kemudian, ada beberapa di
antara mereka yang langsung mulai menulis dan mempostingnya lewat akun Facebook pribadinya dan juga membaginya
lewat grup Facebook organisasi
mereka. Keesokan harinya, jumlah mereka yang mulai menulis dan memposting
tulisannya semakin bertambah. Sampai sekarang, alhamdulillah, mereka sudah
tidak lagi merasa “malu” atas tulisan yang ditulis dan dipostingnya.
Saya sendiri merasa
bangga dan bahagia melihat keseriusan dan semangat mereka untuk mau belajar dan
berbagi lewat karya tulis. Senang rasanya karena masih banyak juga di antara
rekan-rekan saya yang masih peduli dan “menyukai” aktivitas tulis-menulis.
Semoga ini menjadi awal bagi kami khususnya, untuk menggaungkan literasi di
mana pun kami menimba ilmu dan mengabdi. Semoga berkah.
Wallahu a’lam.
Share This :
comment 0 comments
more_vert