Rindu Kampung Halaman
Oleh: Gunawan
Jauh dari kampung
halaman, memang bukan suatu hal yang baru bagi saya. Sebab, saya sudah merantau
sejak masuk SMP. Sejak SMP saya tidak tinggal dengan kedua orang tua saya
dikarenakan sekolah yang saya pilih berada di pusat kota. Sementara kampung
halaman saya, berada di pelosok dan jauh dari keramaian. Jadi, saya hanya
tinggal dengan salah satu keluarga dari ibu saya yang bermukim di pusat kota
tersebut.
Masa-masa itu, saya
selalu rindu dengan kampung halaman. Terutama dengan kedua orang tua. Untuk
mengobati rasa rindu itu, kadang saya pulang sekali dalam dua minggu, kadang
juga sekali sebulan.
Hal yang sama pula
ketika SMA. Saya memilih sekolah yang sangat jauh dari kampung halaman. Jauhnya
sekitar empat kali lipat dengan jarak sebelumnya ketika saya SMP. Lagi-lagi,
saya harus berpisah dengan kedua orang tua dan adik-adik saya. Sedikit berbeda
dengan waktu SMP. Kali ini saya harus tinggal di kos-kosan bersama dengan
teman-teman saya yang lainnya, yang kebetulan sama-sama anak rantauan juga.
Karena semakin jauh
dari kampung halaman, tentu kerinduan terhadap kampung pun tidak bisa
digambarkan. Saya hanya bisa pulang ke kampung halaman sekali sebulan, kadang
juga sekali dalam dua atau tiga bulan. Sebenarnya yang saya rindukan dari
kampung halaman bukan hanya keluarga, tetapi juga kebersamaan dengan
teman-teman SD dan kegiataan-kegiatan bertani yang kami lakukan di ladang,
sawah, dan kebun.
Namun, ketika SMA kala
itu saya sedikit terobati dengan membantu para petani yang berada di sekitar
tempat kos saya. Biasanya sepulang sekolah, kadang saya dan teman-teman diajak
olehnya untuk membantu memanen padi di sawahnya, dan berbagai pekerjaan
lainnya. Begitu pun dengan guru-guru yang punya persawahan, perkebunan.
Biasanya, kami anak kos-kosanlah yang terlebih dahulu diajak olehnya untuk
bekerja di sawah dan kebunnya. Saya dan teman-teman kos yang lain selalu siap
membantu beliau-beliau. Kegiatannya bermacam-macam, kadang pergi menyabit
rumput di sawah/ladang, kadang pergi menanam pohon jati di kebun-kebun beliau,
dan lainnya. Sebab, kegiatan seperti ini sudah biasa kami lakukan di kampung
halaman. Maklumlah, orang tua kami hanyalah petani. Jadi, kegiatan semacam itu sudah
pasti kami lakukan. Sebab, hanya itulah satu-satunya sebagai penyambung hidup
kami.
Alhamdulillah,
pada tahun 2008, saya diberikan kesempatan untuk melanjutkan studi di kota
Makassar. Tentu, jarak antara kampung halaman saya dengan Makassar semakin
jauh. Tidak ada alternatif lain, melainkan saya harus tinggal dikontrakkan
(kos-kosan) lagi. Mengulang masa SMP dan SMA. Entah mengapa, kerinduan saya
terhadap kampung halaman ketika awal saya berada di kota Anging Mamiri tersebut
semakin tak tertahankan.
Hampir setiap hari saya
menelepon kedua orang tua untuk menanyakan kabar ini dan itu. Sebab, hanya
itulah yang menjadi obat kerinduan saya terhadap mereka. Walau hanya mendengar
suaranya saja, itu sungguh senang rasanya. Kadang saya meneteskan air mata
ketika berbicara dengan mereka. Betul-betul saya tidak bisa menahan air mata
kala itu (walau saya merahasiakan kepada mereka). Ingin sekali cepat pulang
kampung. Ingin rasanya memeluk mereka. Ingin rasanya bercanda ria dengan mereka
seperti dahulu ketika SD. Ingin rasanya makan bersama lagi dengan mereka.
Namun, apa daya jarak memisahkan kami.
Libur semesteran selalu saya nantikan. Sebab, mungkin saya diizinkan untuk pulang kampung oleh mereka. Namun, saya hanya bisa pulang setelah dua tahun berada di Makassar. Walau hanya beberapa minggu. Itu saja sudah sangat luar biasa bagi saya. Alhamdulillah, setelah dua tahun berada di tanah rantauan, ternyata masih bisa diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk bertemu dengan mereka. Tahun-tahun kemudian, tetap saja saya selalu merindukan kampung halaman. Namun, saya harus sabar. Saya harus tetap konsisten terhadap impian saya dan keluarga untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Kini, sudah hampir lima belas tahun, saya pun masih berada di tanah perantauan. Entah mengapa, akhir-akhir ini saya selalu dan sangat merindukan kedua orang tua saya, adik-kakak, dan kampung halaman. Mungkin karena sebelumnya, saya selalu mendengar kabar dari kampung, bahwa banyak keluarga saya yang tiba-tiba dipanggil oleh Yang Kuasa. Semoga kedua orang tua, kakak, dan adik-adik, serta keluarga besar saya di kampung baik-baik saja. Semoga kalian tetap sehat dan tetap istiqamah untuk beribadah kepada-Nya. Saya merindukan kalian semuanya. Miss you all.
Libur semesteran selalu saya nantikan. Sebab, mungkin saya diizinkan untuk pulang kampung oleh mereka. Namun, saya hanya bisa pulang setelah dua tahun berada di Makassar. Walau hanya beberapa minggu. Itu saja sudah sangat luar biasa bagi saya. Alhamdulillah, setelah dua tahun berada di tanah rantauan, ternyata masih bisa diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk bertemu dengan mereka. Tahun-tahun kemudian, tetap saja saya selalu merindukan kampung halaman. Namun, saya harus sabar. Saya harus tetap konsisten terhadap impian saya dan keluarga untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Kini, sudah hampir lima belas tahun, saya pun masih berada di tanah perantauan. Entah mengapa, akhir-akhir ini saya selalu dan sangat merindukan kedua orang tua saya, adik-kakak, dan kampung halaman. Mungkin karena sebelumnya, saya selalu mendengar kabar dari kampung, bahwa banyak keluarga saya yang tiba-tiba dipanggil oleh Yang Kuasa. Semoga kedua orang tua, kakak, dan adik-adik, serta keluarga besar saya di kampung baik-baik saja. Semoga kalian tetap sehat dan tetap istiqamah untuk beribadah kepada-Nya. Saya merindukan kalian semuanya. Miss you all.
Wallahu a’lam.
Ditulis pada Sabtu, 18 Maret 2017
Ditulis pada Sabtu, 18 Maret 2017
Share This :
comment 0 comments
more_vert