Alergi Filsafat
Oleh: Gunawan
Bagi seorang mahasiswa
atau akademisi, mendengar kata filsafat sudah tidak asing lagi. Mengingat,
filsafat merupakan salah satu mata kuliah yang pernah dipelajarinya ketika ia
kuliah. Misalnya, mahasiswa yang kuliah di fakultas pendidikan, minimal ia akan
mendapatkan materi tentang filsafat pendidikan. Mahasiwa S2 dan S3, misalnya,
ia mendapati mata kuliah filsafat ilmu atau sejenisnya, begitu pula dengan
tiap-tiap jurusan yang digelutinya.
Namun, bagi masyarakat
awam, mendengar kata filsafat merupakan suatu yang jarang sekali mereka dengar,
bahkan ada yang tidak pernah mendengarnya sama sekali. Ironisnya, ada juga
masyarakat yang menilai bahwa pelajaran filsafat adalah pelajaran yang “menyesatkan.”
Mereka sangat alergi ketika mendengar kata filsafat, apalagi sampai
mempelajarinya. Mungkin, hal ini wajar-wajar saja karena mereka belum tahu dan
paham tentang filsafat itu sendiri.
Sebenarnya, bukan hanya
masyarakat awam yang alergi terhadap filsafat ini. Justru banyak juga dari
kalangan mahasiswa, yang kurang bahkan tidak suka dengan filsafat ini. Alih-alih
mempelajari dan mendalaminya, mendengar saja, mereka tidak suka.
Pernah, saya punya
cerita menarik terkait dengan filsafat ini. Dahulu, ketika saya berangkat ke
Makassar (dari Bima) untuk keperluan mengurus berbagai administrasi dan
berbagai persyaratan untuk penyelesaian studi, saya pernah dinasihati oleh
salah satu orang tua di atas kapal laut, yang kebetulan beliau mau ke Makassar
untuk mendampingi proses wisuda anaknya. Beliau menasihati saya agar menjauhi
dan tidak mempelajari filsafat. Karena katanya, pelajaran itu dapat membuat
orang “tersesat.” Ya, saya meng-iya-kan saja nasihat beliau. Saya tidak mau
berdebat panjang dengannya. Kalau pun saya berdebat dengannya, tidak akan ada ujungnya.
Sebab, dia tidak akan pernah mau tahu
soal filsafat.
Saya juga tidak tahu,
mengapa beliau begitu membenci dan alergi dengan filsafat. Entah, beliau
mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan dengan “filsafat.” Atau mungkin
ada yang merasukinya. Masa sampai segitunya. Hehehe. Yang jelas, beliau tidak suka
dan alergi terdapat yang berbau filsafat.
Sesampai di Makassar,
saya sempat berkontemplasi terkait dengan perkataan bapak di atas. Sebegitu
ngeri dan ektrim-kah pelajaran filsafat di mata kebanyakan orang? Tapi, sekali
lagi, saya tetap berpikir positif, karena barangkali mereka belum paham hakikat
daripada filsafat itu sendiri.
Bila kita mencoba
menggunakan teori peluang pada kasus di atas, maka besar kemungkinan banyak
orang yang memang dan betul-betul alergi terhadap filsafat. Contoh, bila dalam
suatu komunitas terdapat 50 anggota, lantas yang pernah mempelajari dan
mendalami filsafat hanya 5 orang, maka berdasarkan teori peluang/kemungkinan, akan
ada kemungkinan 45 orang yang alergi dan tidak menyukai filsafat. Artinya,
lebih banyak yang tidak menyukainya daripada yang menyukainya.
Mari kita kembali
kepada persoalan di atas. Sebenarnya, berbicara masalah filsafat berarti
berbicara masalah atau terkait dengan persoalan hidup kita. Memang persoalan
filsafat tidaklah mudah. Karena dibutuhkan pemikiran yang betul-betul
komprehensif, mendalam sampai ke akar-akarnya (berpikir filsafati) sehingga
bisa menemukan hakikat yang sebenarnya.
Menurut saya, pelajaran
filsafat sebenarnya sangat menarik, karena menyangkut berpikir lintas ilmu.
Artinya, bahwa orang yang berpikir filsafati merupakan orang yang mampu
mensintesiskan berbagai lintas ilmu. Sehingga, ia bisa menemukan hakikat terhadap
persoalan yang dipikirkannya. Namun, sebenarnya tidak hanya persoalan hakikat (ontologi),
tetapi juga persoalan cara atau metodologi (epistemologi) yang digunakan, dan
manfaat/nilai yang dipikirkan/dihasilkan (aksiologi).
Anda semua pasti sudah
mengetahui, bahwa Pancasila merupakan dasar NKRI. Bila kita cermati sila-sila
dalam Pancasila, sebenarnya itu merupakan buah dari berpikir filsafati. Ya, para
pendiri bangsa ini merumuskan Pancasila sebagai dasar negara melalui cara
berpikir sintesis. Begitu pula, untuk menyelesaikan berbagai problem bangsa ini, para pembuat
kebijakan/regulasi, tidak akan bisa lepas dari berpikir filsafati.
Maka, "tidaklah benar",
bila ada yang mengatakan bahwa berfilsafat dapat menjadikan orang “tersesat.” Akibatnya,
melahirkan banyak orang yang tidak suka dan alergi terhadap filsafat. Perlu diingat,
bahwa lahirnya berbagai macam teknologi yang kita nikmati sekarang ini tidak
terlepas dari peran filsafat.
Wallahu a’lam.
Ditulis pada hari Selasa, 28 Februari 2017
Share This :
comment 0 comments
more_vert