Oleh: Gunawan
Waktu
itu, aku begitu serius mencari keberadaanmu. Mungkin karena sudah lama tak
bertemu. Kita memang hampir tujuh belas tahun tak bertemu. Apalagi saling
menyapa, sama sekali tidak.
Sejak
aku pindah dan hijrah ke daerah yang cukup jauh, aku seolah merasa kesepian.
Jauh darimu, sungguh aku tak bisa. Sebab, engkau sudah kuanggap seperti
saudaraku. Meskipun, tiap kali bertemu, aku selalu membuatmu tak nyaman.
Memang, aku sering usil dan jail padamu. Itu karena, aku ingin selalu ada di
dekatmu.
Engkau
tahu, sejak aku hijrah dengan orang tuaku ke daerah yang nan jauh, aku tak
pernah melupakanmu. Persahabatan kala itu tak mungkinlah aku melupakan begitu
saja. Apalagi, kita sudah pernah berjanji, apa pun yang terjadi, jangan sampai
persahabatan ini pudar.
Bertahun-tahun,
wajahmu selalu terbayang. Entah mengapa itu bisa terjadi. Namun, yang pasti,
parasmu seolah terus menghantuiku. Aku tak tahu bagaimana denganmu. Apakah
engkau masih mengingatku dan menganggapmu sahabat. Aku juga tak tahu pasti,
apakah engkau masih ingat janji saat itu. Semoga saja engkau masih
mengingatnya.
Engkau
tahu tidak, bertahun-tahun aku mencari kontakmu. Ke sana kemari kucari, tak aku
dapat juga. Bosan? Menyerah? Tidak. Sebab, aku benar-benar ingin mengetahui
kabarmu. Aku tak pernah lelah mencari tahu perihalmu.
Hingga
suatu waktu, iseng aku bertanya keberadaan dan kabarmu dari seseorang. Engkau
tak perlu tahu siapa orang itu. Yang pasti, engkau mengenal orangnya. Hanya
saja, untuk saat ini, aku rahasiakan dulu. Nanti, pas ketemu langsung denganmu,
aku akan ceritakan semuanya.
Lama
aku bercerita dan obrol dengannya, hingga kontak pribadimu pun kudapat. Senang?
Sudah pasti. Bukan main, malah. Dan, ternyata usahaku bertahun-tahun membuahkan
hasil yang positif.
Meskipun
sudah aku dapatkan kontakmu, aku belum berani langsung menghubungimu. Entahlah,
tiba-tiba, aku merasa minder seketika. Padahal, kita benar-benar sahabat. Aku
takut saja, engkau tak mengenalku lagi.
Hari
demi hari, aku kumpulkan keberanianku. Mengisi amunisi, agar aku bisa mendapatkan
kabarmu. Dua minggu kemudian, aku memberanikan diri menghubungimu. Itulah awal
mula aku mengirim pesan singkat atau SMS padamu.
Senangnya
rasa ini, bisa mendapatkan kontak dan menghubungimu, meskipun hanya via SMS
terlebih dahulu. Setidaknya, aku akan mendapatkan informasi dan kabar darimu,
yang mana bertahun-tahun sebelumnya tak pernah tersiar.
Aku
tak tahu, apakah dengan adanya SMS masuk itu, apalagi nomor baru, engkau akan
kaget. Lama aku menunggu, akhirnya engkau membalasnya juga.
Aku
sangat bahagia, sebab engkau telah membalasnya. Itu menjadi bukti, bahwa engkau
masih mengenalku. Namun, tak kusangka, engkau tidak mengenalku. Engkau
benar-benar tak mengenalku, padahal sudah kusebutkan namaku. SMS kedua telah
terkirim. Lagi, engkau masih saja tak tahu. Terus saja kukirim SMS,
“menceritakan” ini itu, tetap saja engkau tak mengenalku. Malah, engkau
menyebutnya, aku ini orang lain yang engkau kenal baru-baru ini. Nada SMS-mu
juga, seolah acuh.
Sungguh,
aku merasa sedih. Sedih karena engkau benar-benar tak mengenal sahabatmu ini.
Entahlah, apakah engkau sudah tak mau lagi bersahabat denganku. Namun, ikrar
itu, aku masih ingat betul, bahwa kita adalah sahabat setia.
Engkau
harus tahu, bahwa SMS pertama itu, aku persiapkan matang-matang. Hanya karena
ingin mendapatkan informasi dan keberadaanmu secara jelas. Aku tak ingin
basa-basi, apalagi engkau orangnya sangat serius dan tak suka bercanda. Sedikit
saja bercanda, engkau langsung saja cuek dengan orangnya.
Wallahu a’lam.
Share This :
comment 0 comments
more_vert