Jadi Siswa Itu Harus Menulis

Jadi Siswa Itu Harus Menulis

Oleh: Gunawan


Belajar menulis sejatinya sudah dimulai ketika duduk di bangku sekolah dasar. Siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah dasar pasti melewati proses ini. Demikian juga, ketika masuk di sekolah menengah, baik sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas atau pun sejenisnya.

Menulis selalu melekat pada dirinya. Contoh sederhana, ketika masuk pelajaran matematika, siswa-siswa pasti disuruh oleh gurunya untuk mencatat (menulis) kembali apa yang telah dicatat (ditulis) oleh gurunya di papan tulis. Begitu pula dengan berbagai mata pelajaran lainnya. Bisa dipastikan semuanya menuntut siswa untuk menulis atau mencatat kembali. Ya, walaupun masih sebatas mengikuti tulisan guru-gurunya di papan tulis.

Jika demikian dilakukan oleh siswa, maka belajar menulis ini bukan lagi sesuatu yang baru atau pun asing bagi mereka. Namun, sekali lagi, kebiasaan tersebut hanya sebatas mencatat (menulis) atas apa yang disuruh oleh guru-gurunya. Itu pun kalau mereka (baca: para siswa) mau mencatatnya. Sangat sedikit kita lihat siswa yang mau belajar menulis di luar kebiasaan atau rutinitas hariannya. Kalau pun ada di setiap sekolah, paling tidak bisa dihitung jari jumlah siswa yang betul-betul mau menekuni dunia tulis-menulis. Bahkan, barangkali di satu kecamatan pun belum ada siswa yang mau menekuni dunia tulis-menulis.

Menurut saya, salah satu alasan mengapa sangat jarang siswa yang betul-betul mau menekuni dunia tulis-menulis disebabkan karena kurangnya motivasi dari gurunya tentang penting dan asyiknya dunia tulis-menulis. Hal demikian juga bisa terjadi, sebab gurunya saja jarang yang mau menekuni aktivitas yang satu ini. Dengan demikian, hal ini bisa berimbas pada siswa-siswanya. Barangkali, istilah, like teacher like student.

Andai saja dalam satu sekolah di seluruh Nusantara ini terdapat satu saja guru yang betul-betul mau menekuni dunia tulis-menulis (baca: guru penulis), maka bisa dipastikan sekolah tersebut menjadi sekolah yang luar biasa. Sebab, guru penulis itu mempunyai banyak ide, kreatif, dan imajinatif. Sehingga efek positifnya sangat baik untuk perkembangan sekolah ke depan. Dengan demikian, akan lahir pula siswa-siswanya yang hobi menulis bahkan melahirkan puluhan siswa penulis.

Mungkin, sudah saatnya pemerintah sekarang untuk betul-betul mau serius memerhatikan profesi yang satu ini, yaitu guru penulis. Kalau boleh saya merekomendasikan, setidaknya pemerintah bisa menempatkan satu guru penulis di setiap sekolah yang ada di seluruh Nusantara ini. Kalau pun hal ini tidak bisa, setidaknya dalam satu kecamatan harus ada satu guru penulis. Atau minimal, adalah semacam kegiatan workshop atau seminar tentang kepenulisan baik untuk guru-guru maupun siswa itu sendiri di setiap sekolah.

Memang sih sekarang saya lihat dan perhatikan, sudah ada yang namanya program Gerakan Literasi Sekolah, namun belum bisa maksimal seperti apa yang telah direncanakan. Ya, semoga saja dengan gerakan ini juga bisa melahirkan siswa-siswa yang betul-betul mau menekuni dunia tulis-menulis.

Bila di setiap sekolah telah lahir siswa penulis, maka itu bisa menjadi modal yang cukup bagus buat sekolah dan generasi selanjutnya. Sebab, penulis itu kaya akan ide, gagasan, imajinatif, kreatif, bahkan inovatif. Sesuatu yang biasa-biasa saja di mata orang lain, namun di mata penulis, ia bisa menyulapnya menjadi sesuatu yang luar biasa atau sesuatu yang waow.

Ayo, adik-adikku siswa di mana pun kalian sekolah, menulislah! Jadi siswa itu harus menulis. Menulis itu asyik loh. Menulis itu menyenangkan. Menulis itu dapat membuat kalian bahagia. Menulis itu dapat membuat kalian “senyum-senyum sendiri." Menulis itu dapat menghibur hati yang lara. Menulis itu dapat menghilangkan kesedihan, kegelisahan, dan kegalauan.

Menulis itu seindah kalian curahan hati (curhat) dengan teman-teman sekolah kalian. Menulis itu seindah bernyanyi. Iya, menulis itu seindah suaramu. Iya, kamu.

Wallahu a’lam.

Share This :